Cari Blog Ini

RSS
Post Icon

Aceh Tak Butuh Ujian Nasional

Sejak dua hari lalu (saat tulisan ini dibuat, pen), pelajar tingkat SMU/MA dan sederajat di seluruh Indonesia berjibaku menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN) yang rumit. Mereka berjuang mengejar target atau standar nilai rata-rata kelulusan yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,25.


NB: sudah dimuat di rubrik fokus Harian Aceh, Kamis 24 April 2008

Di Aceh, pelaksanaan UN berlangsung semarak. Para pejabat dari tingkat provinsi sampai kabupaten memantau langsung UN yang tahun ini diikuti oleh 65.635 siswa SMA/MA atau yang sederajat. Aksi para pejabat kembali ke sekolah ini selain untuk memantau agar tidak terjadi kekurangan juga untuk memberi semangat kepada para pelajar agar mampu menyelesaikan berbagai soal-soal UN. Para pejabat juga memberi semangat agar siswa dapat lulus ujian dengan hasil maksimal.

�Kalian harus lulus semua. Tidak ada yang tidak lulus,� ujar Kepala Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf saat memantau UN di SMU 1 Baitussalam, Aceh Besar. Dengan penetapan nilai rata-rata kelulusan sebesar 5,25, apakah menjamin semua siswa di Aceh dapat lulus semua seperti harapan Kepala Pemerintah Aceh? Sulit untuk menjawabnya.

Untuk Aceh, nilai rata-rata tersebut termasuk tinggi. Pada UN 2006/2007 lalu, dengan nilai rata-rata kelulusan sebesar 5.0, sebanyak 9.891 dari total 53.028 atau sekitar 18,65 persen siswa tingkat SMA/MA tidak lulus UN. Sedangkan untuk tingkat SMK dan SPK, angka tidak lulus UN mencapai 22,44 persen atau 1.774 siswa dari tola keseluruhan yang ikut ujian 7.991.

Sementara tahun pelajaran 2005/2006, tingkat kelulusan siswa mencapai 88,71 persen atau melebihi target 70 persen yang ditetapkan Dinas Pendidikan Aceh. Sementara target kelulusan tahun ini yang ingin dicapai oleh pemerintah sebesar 90 persen lebih. Target tersebut terlalu tinggi, mengingat mutu pendidikan di Aceh yang masih rendah dibandingkan dengan di daerah lain.

Belum lagi, penetapan nilai rata-rata kelulusan yang terlalu tinggi, dinilai tidak terlalu adil dan fair diberlakukan secara serentak. Karena mutu pendidikan antara satu daerah dengan daerah lain sangat berbeda. Target tersebut mungkin bisa dicapai oleh siswa-siswa dari sekolah favorit di pulau Jawa, tapi target tersebut belum tentu mampu dijangkau oleh siswa di pedalaman Papua atau di pedalaman Kalimantan.

Makanya sering muncul pertanyaan, kenapa standar nilai kelulusan harus disamaratakan untuk semua daerah? Bukankah mutu pendidikan di daerah masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan mutu di tingkat pusat?

Artinya, ketika nilai standar kelulusan disamaratakan untuk menentukan kelulusan siswa, kebijakan tersebut sungguh tidak adil dan fair. Sarana dan prasarana pendidikan antara di Aceh dan di pulau Jawa sangat tidak sebanding. Sarana pendidikan di sekolah-sekolah kecamatan dengan di kabupaten atau dengan sekolah di tingkat provinsi juga berbeda. Di mana sekolah-sekolah yang terletak paling jauh dari kota mutunya sangat rendah, fasilitas yang tidak mendukung, guru yang sedikit dan kebutuhan praktik siswa yang kurung.

Sebenarnya, Aceh bisa menerapkan sistem sendiri termasuk menentukan nilai kelulusan siswa, dan tak perlu mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah di Jakarta. Merujuk UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh, khususnya Bab XXX pasal 215 disebutkan bahwa Pemerintah Aceh mempunyai wewenang menyesuaikan sistem pendidikan Aceh dengan karakteristik, potensi dan kebutuhan masyarakat Aceh tanpa mengurangi makna sistem pendidikan secara terpusat.

Artinya, pemerintah Aceh memiliki wewenang penuh untuk mengatur sendiri sistem pendidikan, termasuk dalam hal menentukan kelulusan siswa. Dengan demikian, Pemerintah Aceh tidak perlu ditawan atau didikte oleh pemerintah pusat termasuk dalam urusan pendidikan. Apalagi, pemerintah Aceh sudah diberi wewenang untuk menjalankan pemerintahan sendiri.

Dengan mengikuti sistem pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, yang sampai kini masih diperdebatkan, sama saja pemerintah Aceh membiarkan pusat melakukan intervensi terhadap pendidikan di Aceh.
�UN tidak perlu di Aceh,� kata Zukhri Mauluddinsyah, anggota Komisi E DPRK Pidie beberapa waktu kepada Harian Aceh.

Menurutnya, UN sama sekali bukanlah standar untuk menilai prestasi siswa. Karena menurutnya, banyak juga siswa pintar tapi tidak lulus ujian. Sementara siswa yang bodoh sering lulus dengan prediket memuaskan. Jika UN tetap dipaksakan, sama saja dengan membunuh karakter siswa.

Selain itu, tambah Zukhri, pelaksanaan UN sama saja membuang-uang dana ratusan juta rupiah secara mubazir karena hanya untuk membeli kertas dan memberikan honor kepada tim independen dalam mengawasi UN. Apalagi, dana tersebut, juga harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Padahal, jika tidak ada UN, dana itu bisa untuk meninggkatkan mutu pendidikan, serta dapat digunakan kepada sektor lain yang berhubungan dengan masyarakat.

Jika kondisinya, seperti itu, UN sama sekali tidak dibutuhkan untuk Aceh.**

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar